Selasa, 29 April 2014

Mengapa Orang Benar Mengalami Penderitaan ?

http://christians-in-recovery.org/attach/graphics/biblical/Job%20-%20suffering.jpg


(Dr. Larry Waters)

Jawaban kepada pertanyaan : “Mengapa orang benar mengalami penderitaan?” dan “Mengapa kejahatan diizinkan untuk ada?” tidak bisa dipuaskan hanya dengan satu penjelasan. Banyak alasan diberikan di dalam Alkitab untuk menjelasan penderitaan pribadi harus diuji di dalam terang anugerah Tuhan. Penderitaan mengajarkan Ayub bahwa ia benar karena ia memiliki hubungan yang didasarkan oleh kasih karunia Allah, Sang Maha Benar, bukan karena ia yang mengusahakan kebenaran dirinya sendiri. Ayub mengenal Allahnya dan merespon dengan kerendahan hati, kasih dan takut dan tunduk di bawah kedaulatan Allah (Ayub 42:1-2), dan bertobat dari motivasi salah di dalam melayani Tuhan (42:6).
                Jadi, mengapa Allah menaruh Ayub dalam keadaan seperti ini? Yang utama adalah untuk memperlihatkan DiriNya kepada Ayub. Melalui semua percakapanNya dengan Ayub, Allah mengajarkan Ayub bahwa Dia sendirilah yang menciptakan semuanya-surga dan bumi dan semua yang ada di dalamnya-dan Dia sendiri yang mengatur semua ciptaanNya. Dia sendiri memiliki hak untuk melakukan apapun yang Dia suka. Dia tidak memiliki sebuah tanggung jawab untuk menjelaskan semua perbuatanNya kepada ciptaanNya. Dia sendiri berdaulat atas kehidupan semua manusia.
                Tapi bagaimanapun juga, hal ini akan sangat membatasi pengaruh buku Ayub jika batasan pesan anugerah dan tujuan dari penderitaan Ayub hanya terbatas secara eksklusif kepada kedaulatan Allah semata. Bisakah sebuah komunitas orang kudus yang mengalami penderitaan mendapatkan jawaban dan aplikasi lain di sini? Iya! Perjuangan Ayub dan kemenangannya membantu mereka yang mengalami penderitaan. Sebagai contohnya,  seperti dijelaskan di dalam beberapa halaman sebelumnya, buku Ayub mengajarkan pembaca bahwa :


  1. Allah tidak bisa dibatasi oleh konsep teologi kemakmuran/retribusi (teologi kemakmuran/retribusi = manusia diberkati
  2. Dosa tidak selalu menjadi alasan penderitaan manusia
  3. Alasan yang salah tentang penderitaan dapat membuat seseorang menyalahkan dan menantang Allah
  4. Hidup dibawah teologi kemakmuran/retribusi dalah sistem legalistik yang bukan hanya merusak aplikasi dari kebenaran hukum Allah, tetapi juga membatasi Allah dan kasih karuniaNya di dalam standar persepsi pikiran manusia
  5. Lebih jauh lagi, setan ada di belakang sistem yang salah dan mendapatkan kesukaan di dalam membuat orang benar menderita
  6. Hidup adalah satu serial kesakitan dan penderitaan yang tidak bisa dijelaskan, dan secara sederhana seseorang perlu melaluinya, karena hidup ini dikaitkan dengan tujuan Allah bagi kita yang mungkin belum kita mengerti
  7. Manusia tidak selalu mengetahui semua fakta di dunia
  8. Hikmat Allah melampau hikmat dan pikiran manusia
  9. Perlindungan dan berkat Allah didasarkan semata-mata atas anugerah, bukan atas formula legalistik
  10. Penderitaan dapat dihadapi dengan iman dan percaya kepada Allah yang penuh anugerah dan kasih, bahkan ketika manusia tidak memiliki alasan yang logis atau rasional untuk percaya
  11. Allah mengizinkan penderitaan, sakit dan bahkan kematian, jika hal tersebut dapat memenuhi tujuanNya untuk ciptaanNya
  12. Agama yang pragmatis dan berdasarkan kemakmuran tidak memiliki tempat di dalam rencana anugerah Allah
  13. Selain nilai baik yang didapat, penderitaan dapat bersifat mencegah dan melindungi
  14. Karena anak-anak Allah memiliki hubungan pribadi dengan Allah, penderitaan sering secara khusus dirancang untuk memuliakan Allah di dalam peperangan yang tidak kelihatan dengan setan

True wisdom, like God, defies human reason.” “Hikmat yang sejati, seperti Allah, mengalahkan alasan logis manusia.” Oleh sebab itu, hikmat sejati mengalahkan konsep dari hikmat tradisional, dan ketika secara benar diaplikasikan oleh anak-anak Allah di dalam penderitaan, maka hal tersebut akan menjadi demonstrasi hidup dari anugerah Allah dan iman manusia : “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayub 42:5).

“I have heard of Thee by hearing of the ear; But now my eye sees Thee”